Seminar yang diprakarsai Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali (Bali Heritage Trust) itu menghadirkan narasumber Ida Pedanda Gde Made Gunung, Drs. IB Sidemen, S.U., Drs. Wayan Geriya dan Ni Nyoman Pujianiki, S.T., M.T., dipandu Prof. Sirtha dan Prof. Parimartha.
Dikatakannya, penggunaan pis bolong sebagai bagian sarana upakara -- berfungsi budaya -- yang berlangsung hingga sekarang, dapat digunakan sebagai bukti untuk menunjukkan kedalaman alkulturasi budaya Cina dan Bali. Oleh karena pis bolong asli tak dicetak dan tak diekspor lagi oleh negara Cina, maka jumlah pis bolong asli di Bali makin berkurang. Untuk memenuhi permintaan masyarakat dilakukan dengan mencetak pis bolong tiruan. Namun, dalam upakara di Bali uang kepeng asli dan uang kepeng tiruan diperlakukan sama.
Dikatakannya, sebagian besar masyarakat Bali pemeluk Hindu mengenal pis bolong dengan baik, terutama mereka yang terlibat langsung dalam pembuatan upakara. Akan tetapi tak semua masyarakat Bali mengenal dengan baik bahwa pis bolong pernah berlaku sebagai alat pembayaran yang sah (uang kartal) dalam transaksi jual-beli dalam masyarakat Bali. ''Bagaimana kemudian pis bolong ini bergeser fungsi dan peranannya menjadi sarana budaya, merupakan masalah pokok yang mendorong saya untuk melakukan penelitian,'' ujarnya.
Dari mana pis bolong itu berasal, dapat dikenali lewat huruf yang tercetak pada kedua permukaannya (fisiknya). Para pakar, bahkan masyarakat Bali umumnya yang masih awam, tanpa melalui penelitian yang mendalam pun akan menyatakan huruf itu adalah huruf Cina. Akhirnya disimpulkan pis bolong itu uang logam Cina.
Penelitian secara kritis ilmiah yang dilakukan beberapa pakar numistik telah menemukan uang logam yang pernah beredar di Nusantara tak semuanya berasal dari Cina. Uang kepeng itu juga ada yang berasal dari Jepang dan Vietnam. Memang kenyataannya, ada satu dua biji pis bolong yang ditemukan di Bali bukan berasal dari Cina. Misalnya di Bali ditemukan pis bolong yang disebut pis jaring.
Ternyata pis ini dicetak pada masa pemerintahan dinasti keshogunan Tokugawa di Jepang (1769 M - 1860 M). Masih ada satu jenis pis bolong yang oleh masyarakat Sembalun, Lombok Timur disebut pis jepun yang diperkirakan berasal dari Jepang. Sebab, dalam bahasa Sembalun negeri Jepun itu sama dengan Jepang. Tetapi uang logam yang digunakan sebagai alat tukar yang sah dan digunakan sebagai sarana budaya adalah uang logam Cina yang diimpor dari negeri Cina.
Penelitian Lanjut
Dulu, di Bali pis bolong juga difungsikan sebagai uang kartal dan sarana budaya. ''Sejak kapan fungsi ganda itu mulai terjadi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut,'' katanya.
Namun, Bali diperkirakan sudah mengenal pis bolong sejak berdirinya Kerajaan Singasari hingga Majapahit. Uang kepeng yang paling sering digunakan sebagai alat pembayaran yang sah adalah pis lumrah (pis jamak). Sementara pis kerinyah, pis lembang, pis koci dan pis wadon, jarang digunakan. Sedangkan pis gobogan hampir tak pernah digunakan sebagai uang kartal karena dianggap bertuah atau memiliki kekuatan gaib.
Terkait dengan keyakinan bahwa pis bolong tertentu mengandung kekuatan gaib, masyarakat Bali mengenal pis bolong pretima dan pis bolong jimat. Nama yang diberikan kepada masing-masing pis bolong disesuaikan dengan gambar yang ada di permukaannya.
Misalnya, pis bolong Rejuna, pis Malen, pis condong, pis Kresna, pis Sangut, pis Bima, pis Anoman, pis jaran dan lain sebagainya. Jika sekarang ada keinginan mencetak kembali uang kepeng, kata Sidemen, sesungguhnya bisa. Sebab, masyarakat Bali telah memiliki keterampilan mengecor dan mencetak logam sejak zaman yang cukup tua. Ada bukti yang menunjukkan bahwa terdapat sekelompok masyarakat Bali yang memiliki keahlian itu. Keterampilan itu diperkirakan sezaman dengan kebudayaan Dong Son di Vietnam yang berasal dari abad IV Bc. Produksi dari keterampilan ini masih dapat dilihat dalam bentuk nekara (nekara Pejeng), arca dan lempengan prasasti. Tetapi belum ditemukan bukti yang menunjukkan masyarakat Bali telah mengecor dan mencetak logam dalam bentuk uang.
Makin Langka
Sementara itu, Ketua Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali Tjok. Raka Kerthyasa mengatakan keberadaan uang kepeng semakin langka. Sementara pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali kerap menggunakan uang kepeng. Karena itu, dipandang perlu untuk melestarikannya dengan cara memproduksi kembali.
Dikatakannya, hingga kini uang kepeng di Bali berfungsi religius dan budaya. Penggunaan uang kepeng sebagai sarana upacara Panca Yadnya antara lain dalam lis, orti, pedagingan, rambut sedana, pakelem, kwangen, tamiang dan lain-lain. Dalam seni budaya uang kepeng dijadikan berbagai bentuk hiasan. Karena semakin langkanya uang kepeng, belakangan beredar uang kepeng dari seng yang dibolongkan.
''Terkait dengan itu ada upaya untuk mencetak yang baru dengan menggunakan bahan baku yang mencakup unsur panca datu. Pencetakan uang kepeng ini nantinya akan menjadi semacam industri masyarakat. Namun, perlu ada hak patennya guna mengontrol kualitas supaya tak terjadi distorsi,'' ujarnya.
Ida Pedanda Gede Made Gunung mengatakan uang kepeng sulit dipisahkan dengan kehidupan masyarakat Bali. Tetapi dalam sastra-sastra di Bali hanya disebutkan keteng, misalnya satak selai keteng, satak limang likur keteng. Tak ada sebutan ''bolong'' -- pis bolong. Umumnya uang kepeng digunakan sebagai sesari, lamak, tamiang, prelingga, ukur-ukur dll.
Jika diamati, bahan uang kepeng terkait dengan unsur panca datu, terdiri atas perak, tembaga, mas, besi dan timah. Sementara bulatan melambangkan sunia atau windu. Uang kepeng juga digunakan untuk hitungan neptu (urip-urip) seperti sarin caru dan pedagingan.
Jika uang kepeng dicetak kembali untuk memenuhi keperluan upakara, Ida Pedanda menyarankan agar hurufnya menggunakan aksara suci. Namanya adalah jinah untuk upakara. (lun)
Sumber : Bali Post Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar