Ada sebuah ceritra yang menceritrakan
kejahatan seorang manusia, yang bernama Pepaka. Ia adalah seorang yang
loba tamak, jahat dari kecil. Tidak pernah berbuat yang baik. Pada suatu
ketika ia pergi berburu, samai sore ia tidak menemui binatang buruan.
Ia melihat seekor gajah besar,seraya segera menghujani dengan panah.
Panahnya bertubi tubi mengenai si gajah,lalu dengan cepat gajah itu lari
untuk menghindar. Si Pepaka tak mau kehilangan mangsanya dan segera
mengejar nya. Hampir saja dapat ditangkapnya, Lidahnya sudah menjulur
keluar, larinya lesu sempoyongan. Nafasnya ngosngosan, untung ia bertemu
dengan si macan. Ia amat marah lalu berkata,” apa sebab kamu lari
ketakutan?” Sang Gajah menjawab,”Hampir saya mati dihujani panah oleh
sipemburu.
Kalau saja ia tidak cepat mengikuti kata
si Wenari, tentu ia akan mati dimakan si macan. Si Pepaka dituntun
pelan-pelan,diajak naik kepohon Bunut. Sang Macan marah seraya menjerit,
matanya merah memblalak,sambil mengelilingi pohon, tangannya mengeruk
tanah,Pohon bunut sepertinya kena angina deras,hingga
bergoyangan,bisa-bisa akan tumbang. Sang macan semakin marah sambil
menampakan taring yang tajam,seraya berkata,” Hai Wanari,jatuhkan ia, ia
manusia yang jahat, kesalahannya amat banyak,selalu berbuat onar. Saya
akan membunuhnya dan memakannya. Akan kukeluarkan perutnya,darahnya akan
kuminum. Sang Pepaka takut gemetaran,serta berkata,” Kasihanilah
aku,manusia yang sengsara kesedihan.” Niwenari menjawab,” Tuan,jangan
takut, tidak mungkin saya akan menjatuhkan tuan.aya sangat kasihan
melihat keadaan tuan.jangan ragu,” Sang Macan berkata,” Ih iba sang
Wenari,tidak pantas kamu berteman dengan pemburu, karena pebuatannya
jahat. Selalu membunuh,hatinya bertentangan dengan orang yang sadu.” Ni
Wenari menjawab,” Bagaimana tingkah laku manusia yang kamu katakan
jahat?” Sang Macan berkata, seraya menceritakan ceritra
Tak lama beliau dijalan. Banyak desa-desa
yang dilalui,besoknya beliau sudah nyampai di Maduradesa. Pande mas dan
anak istrinya sujud hormat menjemputnya. ” Hamba sangat bahagia atas
kedatangan endeta, yang hamba nanti-nantikan dari dulu, hamba akan
bahagia dapat sekedar membalas pertolongan pandeta, Silakan duduk
dibalai-balai. Istriku pergi sediakan beliau makanan yang bersih dan
suci”. Setelah bersantap sang pendeta lalu memberikan pakaian sang
rajaputra kepada tukang mas sambil berkata,”Ini patut kamu yang
memiliki,silahkan kamu terima.Busana mas manik utama ini ,pemberian sang
macan kepadaku,yang pernah ku selamatkan dari dalam sumur.” Tukang mas
situ menerima dengan senang hati.
” Ratu sang Pendeta amat besar pemberian
pendeta pada hamba,orang miskin nistapa penuh dengan kesengsaraan. Sang
Pandita ngandika,” Tidak usah bicara demikian. Dimana ada tempat mandi
disini?” ISwarnangkara berkata,” Disini ada permandian, Kolamnya bagus
berisi pancuran.disertai bermacam tumbuhan yang menawan. Sang Pendeta
turun dari balai-balai lalu menuju ke taman.
Tukang mas I Swanangkara hatinya amat
senang memandang dan mencermati pakain mas manik pemberian sang pendeta,
seraya berkata pada istrinya,” bagaimana pendapatmu, mas pemberian sang
pendeta? Coba kamu mempehatikannya! Pakain ini sepertinya hasil karya
ku,yang kupersembahkan pada raden Ino yang meninggal digunung. Aku kira
beliau dirampok oleh orang jahat..Bagaimana awalnya hingga sampai pada
sang pendeta. Abang akan melaporkan pada sang Prabu.” ” Ah jangan begiru
swamiku!, tidak baik terlalu momo (mementingkan diri ). Supaya jangan
seperti ceritranya sang kera,yang bernama ni Yanti. Dulu kokoh
melaksanakan brta, hingga bisa jadi widyadari Dari pemberian Betara
Guru, Karena sfat momonya selalu mnguasainya ia kembali menjadi kera.
Sudah jelas pikiran yang buruk,kotor akan mengantar kita kedalam kawah
neraka..percayalah pada kata-kata saya ini!.Jangan lupa pada utang
budi.” I Swarnangkara yang sudah dikuasai rasa momo angkara,tidak
mendenarkan kata istrinya yang baik.
Lalu segera datang menghadap pada raja.
Pada waktu itu sang prabu kebetulan sedang mngadakan pertemuan dib alai
rung. Para punggawa dan mantra semua menghadap. Sang raja membicarakan
kematian anaknya raden Ino dalam hutan dengan para mentri semua. Apa
yang menyebabkan kematian anaknya masih belum jelas. Pada waktu
datanglah Iswanangkara tukang mas menghadap sang raja. Ia duduk
menunduk,seraya berkata,Ratu sang prabu,ini busana mas manik kepunyaan
putra tuanku raja, yang meninggal sedang bercengkerma dalam hutan. Di
dapatkan oleh sang pendeta. Barang kali beliau yang pura-pura sadhu
buddhi,sebab banyak orang seperti pandita Baka yang jahat. Sekarang sang
Pandita sedang mandi di taman sebelah timur. Sang Prabhu marah, mukanya
merah mengkerut matanya merah menyala,lalu bwerkata,” Cepat kamu
tangkap, beri ia hukuman yang berat,sebab perbuatannya salah
besar,seperti binatang. Berbalik dari pebuatan seorang pandita.yang
menyebabkan negara ini huru-hara.
Para mantri punggawa se mua datang
memenuhi lapangan,berjalan tergopoh-gopoh , sampai dipermandian.
Kebetulan Snag Pendta sudah selesai membersihkan diri,duduk dibawah
pohon kepah yang rindang. Beliau amat suka melihat ikan yang ada dalam
kolam, merebut belalang yang jatuh kekolam .Para mentri segera menangkap
sang pandita seraya merebut tidak tahu masalah..” Cepat tarik seret
lalu potong-potong.! Salahnya membunuh .Ikat dengan kuat.” Sang Pandita
berkata,” uduh dewa apa salahku?” Para mentri berkata,” Kamu terlalu
jahat,tidak sesuai dengan tingkah seorang pendeta,membunuh putra raja”
Sang pendeta lalu diikat diisi duri blatung. Sang pendeta diseret ke
prempatan jalan. Di sana beliau menerima hukuman penderitaan yang
menyedihkan,tapi beliau tidak merasakannya,dikarenakan pikiran beliau
sudah menyatu dengan Hyang Widhi. Nirbana yang telah selalu dilakukan
beliau. Keadaan itu telah disampaikan kepada sang raja,tentang sang
pendeta yang telah disakiti. Sang raja menghakhiri persidangan dengan
para mentri,lalu kembali ketempat masing-masing. Sampai di istana Sang
raja sepertinya merasa tidak enak, kerena teringat pada anaknya yang
meninggal dalam hutan. Airmatanya berlinang-linang, para istri beliau
kasedihan. Tidak terbilang kesedihan sang raja, semua diam termenung.
Ceritakan sang pendeta, diletakan
diperempatan jalan. Banyak orang yang menonton. Semua orang sedih
melihatnya. Roman muka sang pendeta pucat kaletihan,tapi tampaknya
beliau tidak merasakan hal itu,karena keutamaan jnyanan sang pendeta.
Banyak yang datang saling tanya,apa sebab sang pendeta dipasung
diprempatan jalan. Bagaimana jadinya negara ini, karena menghukum dan
menhina sang pendeta suci. Mengapa sang raja percaya laporan yang tidak
benar dari tukang mas I Swarnangkara? Ia orang yang papa ,iri,dursila,
tidak tahu tatakrama. ” Nanti malam saya akan datang kemari,untuk
melepaskan beliau”,Yang lain menjawab, “Jangan nanti ada orang yang
tahu,bisa-bisa kita dihukumnya.” Orang yang datang kebanyakan
menyalahkan sang prabu.
Setelah matahari pergi
keperaduannya,langit semakin gelap. Awan hitam menyelimuti langit. Hujan
grimis turun, membersihkan sang pedeta, bunyi guruh seperti tangisnya
langit, angin yang sepoi-poi bagaikan mengipasi sang pendeta. Hal
penderitaan sang pendeta terdengar oleh sang kera ,lelipi dan sang
Macan.Ketiganya mau membalas dendam, mengamuk ke dalam kota, sebagai
untuk membalas budi baik sang pendeta. Ketiganya sudah setuju,untuk
hidup mati bersama. Mereka berjalan menuju prempatan jalan tempat sang
pendeta. Baru sampai dipinggiran kota sang macan berkata,”Kamu ular
berbisa silahkan mencari tempat yang bersembunyi.Kamu yang datang ke
bencingah. Saya akan menerkam dan memangsa,membabat sang prabu, meminum
darah, mengeluarkan isi perutnya. Salahnya besar berani menyakiti
pendeta suci. Sang Lelipi menjawab,” Hai teman,lebihbaik kamu diam
disini,menjaga bahaya dari luar, saya akan masuk keistana. Sang ular
lalu pergi,tidak lama iapun sudah sampai di prempatan jalan, Sang
pendeta tak sadarkan diri. Berbaring ditanah, badannya dipenuhi
debu,sedih sang ular berbisa melihatnya,lalu menyembah, seraya
menyampaikan tujuannya datang. Sang pendeta bersenang hati, serta
membenarkan dan mendoakan semoga berhasil. Sudah mohon diri lalu masuk
ke istana,menjadi ular kecil, berdiam di pintu agung. Waktu kebetulan
datang raden mantri dari bercengkerma,. Baru ia turun dari kuda, ular
berbisa cepat menggigitnya. Terkejut aduh-aduh minta tolong. “Apa
kiranya yang menggigit kaki saya. Bisanya masuk memenuhi badan. Semua
tersa terbakar,” Para abdi puri berhamburan datang menolong. Ada yang
mengambil lampu, lalu mencari-cari yang menggigit,tapi tidak ada yang
tampak. Kemana-mana sudah dicari tapi tak ada bekasnya.
Setelah sang prabu diberi tahu tentang
putranya mendapat bahaya, yang hampit menghabisi hidupnya. Sang prabu
amat terkejut.demikian juga pramesuri beseta seisi istana. Sang Prabu
segera keluar,bersama para pramesuri,ada yang tak berkekudung,ada yang
rambutnya masih terurai. Hatinya bingung tak karuan. Sudah sampai sang
Prabu lalu memeluk putranya, bersama pramesuri , badanya lemas bagaikan
tak bertulang, melihat putranya terbaring gelisah aduh-aduh. Sang Prabu
berkata,” Datang dari mana anaku tadi? ” Para abadi bersama menjawab,”
Beliau baru turun dari kuda,lalu berjalan didepan pintuagung.Tak
terduga-duga belaiu menjerit kesakitan. Sudah mendapat pertolongan,tapi
tak tertolong.Sudah diperiksa,tapi yang menggigit tidak ketemu.Ada bekas
pada kaki,kira-kira bekas goresan graham.” Sang prabu berkata, ” Kalau
demikian kira-kira ular poleng (belang) .yang menggigitnya. Cepat cari
dukun yang tertkenal,dan orang-orang pandai. Jangan lupa para dng hyang
yang tahu menawar racun ular.” Yang disuruh cepat berjalan, Tidak lama
berdatangan para dukun,pandita, dang hyang,bersama dengan para mentri
dan ksatria. Banyak dukun sakti mengobati beliau,tapi juga tidak mampu
menghilangkan racun ular itu. Sang prabu amat sedih , demikian juga
pramesuri beliau, disebabkan oleh sakitnya putra beliau. Jelas tidak
akan bisa ditolong. Tak ada gunanya obat penawar itu,demikian juga japa
yoga semadi sang para empu danghyang, yang seperti air Gangga Sarayu,
tak mampu menyembuhkan beliau.
Sakit raden Mantri bertambah keras,
mengakibatkan beliau meninggal dunia. Suara isak tangis memenuhi istana.
Para istri raja berguling ditanah, tiadak memperhatikan,diri yang
dipenuhi debu, busana perhiasan jatuh berserakan dilantai. Hatinya remuk
berantakan,seraya memelas minta tolong. Sang Prabu lesu,
kesedihan,karena cobaan yang maha berat beruntun menimpa beliau. Beliau
bermaksud untuk bersama mati,karena kesedihan seperti ditimbun langit.
Dunia ini gelap tak bercahaya,menyebabkan sang raja tak sadarkan
diri.Para mentri menangis sambil memeluk kaki beliau,seraya berkata
memelas hati,”Ratu Sang Prabu, apa jadinya negara ini,kalau tuanku raja
turut meninggalkan kami. Barangkali Tuhan tidak memberi rahmat kepada
kami. Lebih baik kami saja yang mati dari pada tuanku raja menderita
kesengsaraan terus menerus. Sri Mpu Brahmaraja yang mendampingi,lalu
memercikan air amrta ,demikian juga pramesuri raja. Setelah sadar semua,
perasaan beliau masih belum menentu, tidak terasa tanah dipijak,kareana
sedih hati masih menguasai beleiau. Lalu memeluk jenasah putranya,serta
berkata yang menyayat hati,” Anaku sang Bagus,bangunlah! Lihatlah
ibumu, jangan kamu cepat pergi.Kalau kamu jadi meninggalkan ibu,apa
gunanya hidup ibu ini. Kedua anak ibu tidak berhasil hidup.
Kamu sebagai mata hati ibu mendahului
pergi menghadap Tuhan. Siapa yang akan mengganti menjadi raja.Rasanya
tidak ada kasih Tuhan,tapi selalu memberikan kesengsaraan. Menyebabkan
ibu berpisah ,bagaikan pohon angsana,rontok layu kepanasan,oleh panasnya
matahari. Sekarang baru mendengar guruhnya langit, baru saja mau
berbunga ,sudah ditimpa pohon,katerpa angin rebut. Tidak mungkin akan
bisa tumbuh kembali. Ajak ibu turut mati, supaya ibu bisa tetap
berkumpul denganmu. Nanti supaya ibu kembali bisa menjai ibumu.”
Sang Prabu mengusapi mukanya lalu
berkata,”Ratu Pranda, saya amat berdosa, seperti masuk dalam kawah
Gohmuka. Semuanya gelap, rasanya tidak ada dunia ini. Dimana ada ratu
seperti saya. Apa yang harus saya lakukan sekarang? Setelah matinya anak
saya. Maksud saya akanmeninggalkan istana ,pergi kehutan gunung yang
berbahaya,supaya mati dijalan,” Sang pandita menyampaikan tentang darma
,” Ratu sang Prabu,tuanku sepatutnya tetap menjalankan swadarma (tugasa)
sesuai dengan tugas ksatria, Terima semua suka,duhka, Silahkan pegang
dan leksanakan darma sadu seorang raja. Sebenarnya orang yang ksatria
tidak mempunyai keluarga di dunia ini,kecuali keluarga dalam diri
sendiri. Itu pelajari dalam hati, karena itu akan menuntun kita ,hingga
bisa mencapai kesuniatan.
Menurut pendapat saya,hal itu patut
tuanku raja pikirkan” Sang Prabu berkata,” Ratu Pranda, Menurut pendapat
saya tidak ada gunanya isi kitab suci itu, apa sebabnya begitu,kareana
saya sudah menjalankan swadarma saya sesuai dengan bunyi sastra, dan
saya tidak pernah bermasud maupun berlaku jahat. Saya tetap mendoakan
keturunan saya mendapat keselamatan dan kebahagiaan. Nyatanya
kesengsaraan yang kami dapatkan. Itulah yang menyebabkan saya tidak
percaya pada bunyi sastra. Kesedihan saya sama dengan orang yang berbuat
salah. Saya rasakan tidak ada guna dharma itu, dan perbuatan yang
baik,demikian juga apa yang dikatakan dalam Agama. Itu semua saya
ikuti,tapi kenyataan saya sekarang tidak hentinya dirundung
kesengsaraan, penderitaan .”Sang pendeta berkata,” Tuanku maharaja
jangan punya pikiran demikian. Besok buatlah homa,untuk mohon pada Hyang
Bhatara, apa yang menyebabkan putra tuanku meninggal. Barangkali ada
perbuatan tuanku yang menyimpang.
Sebab Hyang Agni sebagai saksi dalam
perbuatan baik buruk.” Para mantra menjawab bersama,” Itu benar sekali
Tuan maharaja,seperti apa yang dikatakan sangpendeta. Saya sebagai abdi
tuanku raja sudah siap untuk melaksanakannya.Upakara yajnya Widhi Widana
sudah hamba siapkan .” Sang Prabu mengangguk seraya berkata,” Sekarang
saya berjanji,”Kalau ada orang yang bisa menghidupkan putra saya, saya
akan serahkan setengah negara ini. seraya akan dijunjung dihormati “.
Pramesuri ikut bicara,”Saya juga akan mengabdi pada orang yang bisa
menghidupkan putra ku”
Para mentri punggawa maupun prajurit
semua sudah menyiapkan upakara caru, beanten yang utama. Lampu-lampu
sudah terpasang berjajar.Besoknya upakara sarpayajnya sudah siap,
seperti minyak,susu,lenga dan madu,tak tertinggal periuk anyar, pucuk
alang-alang yang masih muda satu gabung.bunga yang harum,buah-buahan.
Sang pendeta bersiap melakukan yoga semadi, menyatukan pikiran, memuja
Hyang Siwa. Api sudah berkobar -kobar, Para ular berdatangan turun dalam
api, demikian juga ular bisa yang mematuk raden mantri turut datang .
Ia lalu ditanyai oleh sang pendeta.,” hai kamu ular berbisa apa sebabnya
kamu mematuk rahaden mantri ? sampai beliau meninggal? Beliau adalah
orang yang sadu,berbeda dengan raden mantri yang meninggal dalam hutan
waktu lalu.Saya tidak suka kalau beliau meninggal,sebab itu amat
berbahaya sekali. Berani kepada orang yang melaksanakan kebenaran.
Pasti akan medapat papa naraka, dan
kesengsaraan.” Ular berbisa berkata, dengan hormat dan menunduk,” Tidak
salah apa yang pendeta katakana, hal itu patut diikuti. Perbuatan hamba
itu bukan berdasarkan benci, jahat, atau berbuat sewenang-wenang, tapi
hamba melakukan hal itu ,karena untuk menebus utang budi kepada Sri
Yajnya Dharma Swami. Waktu lalu hamba ditolong oleh beliau. Hamba yang
sedang kesedihan diangkat dari dalam sumur. Itulah sebabnya hamba
membela pada orang yang melaksanakan darma. Hamba tidak lupa pada orang
yang pernah memberikan pertolongan pada diri hamba. Wajar hamba membalas
dengan swadarma hamba sebagai ular, tatkala beliau mendapat kesusahan.
Walaupun bilangannya kecil, apalagi besar,patut tetap diingat. Kalau hal
itu dilupakan ,sudah jelas akan mendapat papa neraka.apalagi kepada
orang yang utama. Yang dipakai teladan oleh orang yang mengutamakan
darma. Kalau ada orang yang sadu, mendapat pancabaya, dianiaya oleh
penjahat, brani berbuat sawenang-wenang, tak usah diberitahu patut
diberi pertolongan. Usahakan sekali ,walaupun sampai mati.
Seperti Sri Yajnya Dharma Swami,,yang
sudah terkenal didunia, beliau amat suci pintar dalam yoga. Beliau juga
pintar dalam weda tatwa, kalau di jagat sekala seperti Hynag
Brahmaguru,. Beliau tidak bersalah mengapa diikat dan diblatungi. Beri
tahu kepada Sang Prabu supaya minta maaf, seta datang menghadap kepada
Sang pendeta Sri Yajnya Dharma Swami. Beliau hormati dan mohonkan
bantuan,menghilangkan bisa ular itu. Pasti beliau raden Mantri akan
hidup kembali..Kalau orang lain tidak mungkin akan bisa,walaupun
diseluruh dunia ini,atau Hyang Trisakti tidak akan berhasil. Tidak
mungkin akan hidup. Beri tahu pada raja jangan percaya kata-kata tukang
mas. Orngnya kikir,jahat,tidak tahu benar salah. Raden Mantri yang mati
di gunung, karena diterkam macan. Busana mas manik itu lalu diaturkannya
pada sang pendeta, lalu diberikan pada tukang mas. Semuanya sudah
diceritakan secara jelas kejadian lalu oleh ular berbisa itu. Sang
pendeta suka mendengarkan, kata -kata ular berbisa, lalu sang pendeta
mengakhiri pemujaanya. Beliau menuju tempat sang raja .
Sang Prabu yang melihat kedatangan sang
pendeta, segera turun dari tempat jenasah putranya,yang didampingi
pramesuri. Sang prabu memeluk kaki sang pendeta,disertai tangis yang
memilukan. Sang prabu menyilahkan sang pendeta untuk duduk.Stelah duduk
bersama sang prabu berkata,” Ratu Pranda, Bagaimana pawisik betara yang
Ratu Pranda terima? Saya akan lakukan demi kelanjutan hidup Raden
Mantri,walaupun bagaimana berat serta anehnya, saya akan sanggupi.” Sang
Pendeta berkata, ” Tidak ada pawarah dari dewa,namun yang saya lihat
dalam api pemujaan adalah ular berbisa. Bisanyalah yang meracuni putra
tuanku. Namanya sang Ken Widuta . Putra tuanku raja tidak akan bisa
hidup, karena tuaku raja berani berbuat salah momo murka dalam
hati.Tidak sesuai dengan bunyi sastra yang patut tuanku laksanakan.
Tuanku terlalu percaya pada kata-kata tukang mas, orang yang tingkah
lakunya jahat,cemer dan senang berbohong. Tuanku raja kurang bijak,
cepat marah, menyalahkan begawn Sri Yajnya Dharma Swami.yang sebenarnya
orang yang sadu teguh memegang darma. Sekarang Tuanku raja,cepat
menghadap padanya.Mohon belas kasihannya, Sembah beliau bersama, serta
mohon maaf atas kesalahan tuan.Semoga panas hati beliau redup,serta bisa
memberikan obat penawar bisa.
Hanya beliaulah yang bisa menghidupkan
putra tuanku.” Demikian kata sang pendeta menceritakan dari awal sampai
akhir penyampaian ular berbisa itu. Sang Prabu berkata,” Saya akan ikuti
semua perintah pendeta, karena saya sudah mempercayai kata yang salah,
sehingga tindakan sayapun salah juga.” Pramesuri menyela berkata,”Mari
kita cepat pergi menghadap!Saya juga turut pergi,menghadap sang
pendeta.” Mereka segera pergi disertai seisi istana turut menghadap.
Para pendeta berjalan paling depan. Setelah sampai di prempatan jalan.
Sri Ajnya Dharma Swami tampak sedang kesedihan. Semua yang datang sangat
sedih melihatnya, air matanyapun tak terbendung.
Para pandita mengucapkan weda mantra,
serta puja pngastuti, diiringi suara genta. Sekar ura turun dari
langit,bagaikan hujan, demikian juga wija (beras) kuning,dan air cendana
sudah diaturkan. ” Ya Tuhan sumber kehidupan,inti nya sunya, utamaning
tutur, penjelmaan sunya, Jiwa dari segala yang hidup, Ratu adalah
perwujudan hyang Siwa, kalau dalam aksara ratu adalah Ongkara,atau
Adwayajnyana dalam Buddhatatwa. Tidak dua yang uttama,sakti di
dunia.Iratu menjelma sebagai Sri YajnyaDharma Swami pendeta uttama.
Mohon dimaafkan kesalahan sang prabu, yang hancur dalam kenerakaan,
sampai beliau tidak ingat akan dharma. Tidak sesuai dengan Sastra
Sarodresti. Menyalahkan sang pendeta uttama.Itulah yang kami mohonkan
maaf. Lalu disiruh membuka tali pengikat beliau. Badan beliau tidak ada
cacat sedikitpun,seperti bulan purnama.
Sang Prabu Maduru bersama paramesuri
mengahadap dengan hormat. Semua memeluk kaki beliau, “Maafkan hamba cucu
mahamuni. Bodoh bertindak salah tidak tahu tata krama, sebab diliputi
sakit hati. Itulah yang menyebabkan hamba bingung,serta marah yang tak
pada tempatnya.Sekarang hamba mohon kerelaan hati maharesi memberi
maaf,seraya memberikan tirta amreta, menghidupi anak hamba. Ia mati
karena ular berbisa,yang tidak ada orang yang bisa menghilangkan
bisanya.” Pramesuri memohon dengan kata yang memelas, ” Ratu Pranda
agung,Kalau sudah kembali hidup putrakami, hamba akan menghaturkan semua
isi kerajaan ini. Selalu akan mengabdi pada maharesi,sesuai seperti
abdi.Hamba tidak akan menolak perkataan maharsi,” Sang pendeta tidak
marah seraya berkata,”Bukan itu yang menjadi tujuan seperti apa yang
ratu sebutkan.” Pendeta kerajaan memohon supaya maharsi Sri Yajnya
Dharma Swami segera mengobati. Sang Maharsi yajnya Dharma Swami bersama
parasadu,sang prabhu, turut bersama pengiring semua. Semua mengatakan
dan memuji keutamaan sang Maharsi. Ada juga yang mengatakan, bagaimana
nanti nasib tukang mas yang jahat dan senang berbohong. Pasti akan habis
semua keluarganya.
Sesudah tiba sang Prabu di istana,lalu
naik kalantai seraya kain jenasah putranya dibuka. Baunya harum
semerbak. Maharsi Yajnya Dharma Swami, segera melakukan yoga,yang amat
suci uttama.Mengembalikan jiwa pramana dalam hati yang singid. Tempat
Hyang atma ,lalu Raden Matri hidup kembali sebagai biasa. Tidak ada
cacatnya. Sang Prabhu maupun Pramesuri amat suka,sebagai mendapat manik
yang tak terbilang banyaknya. Sang Prabu segera memeluk putranya,seraya
berkata,”Uduh Dewa kesayanganku,bagaikan mendapat air amreta rasa
hatiku,melihat anaknda diberkahi kehidupan sebagai semula. Sekarang ayah
akan menghaturkan semua isi Negara ini, sampai masyarakat,para mantri,
desa-desa seluas seperempatnya pada Mahamuni. Sisanya akan dipakai untuk
kesejahtraan rakyat. Raden Mantri tidak berani menolaknya dengan senang
hati menyetujuinya. Sang Prabu menghormat seraya menhaturkan pada Sri
Yajnya Dharma Swami, serta istana.
Sang Yajnya Dharma Swami berkata,” Uduh
Ratu Sang Prabu, jangan lakukan itu.sebab memang seharusnya Ratulah yang
sepatutnya memegang kendali pemerintahan, tapi tuanku raja supaya tetap
ingat pada swadharma seorang raja. Sang Raja Manu patut ditiru.Jangan
lupa pada isi Sastra Sarodrsti. Jangan berteman akrab dengan orang yang
jahat,sebab akan mendatangkan bencana. Akan bisa masuk dalam kawah
Gohmuka. Demikian juga sang pendeta akan jemu melakukan tapa,mencari
jalan kebenaran.” Sang Prabu amat suka,dan membenarkan kata -kata sang
Maharsi. Semua memberi hormat ,karena memperoleh isi tatwa yang utama,
dari wejangan sang maharsi Yajnya Dharma Swami. Sang Prabu mengutus
prajurit untuk membunuh tukang mas ISwarnangkara, sampai keluarganya
semua. Para prajurit sang Prabu segera mencari I Swanangkara seraya
menghabisinya sampai semua keluarganya. Banyak orang Begitulah jeleknya
perbuatan manusia, seperti I Swanangkara.” Kata sang macan kepada
Wenari. Saring menjarah kekayaannya,sebab banyak uang ,mas,yang
diperolehnya karena mengolok-olok, mengambil bahan upahan, (pasuh) .
Itulah sebabnya tukang mas disebut cendala (cacat) sampai sekarang,dan
tidak pantas menjadi teman akrab orang jang susila,gunawan,maupun orang
weda paraga (ahli weda).
Sumber : http://singaraja.wordpress.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar